Cintailah Allah, Rasul-Nya, dan Jihad
Mencintai sudah menjadi sifat alami manusia, bahkan karena dengan rasa cinta itulah dunia menjadi indah. Cinta yang benar selalu membawa kebahagiaan bagi sang pecinta walau bagaimanapun pahit jalan hidupnya. Tetapi ada juga yang mencintai dengan cara keliru. Bagaimana kita menempatkan rasa cinta agar pas sesuai dengan posisinya? Cinta apa sajakah itu? Berikut paparan dr. Marijati, ibu rumah tangga dengan empat orang anak, yang bekerja sebagai dokter praktik sekaligus menjadi konsultan keluarga dan pengisi acara Pra-Nikah di salah satu radio Islam d Kota Solo.
Cinta adalah sesuatu yang universal, bagaimana seorang muslim semestinya memandang soal cinta?
Cinta itu alami, thobi'i istilahnya. Sangat umum dan wajar dimiliki oleh setiap orang karena dengan rasa cinta inilah dunia menjadi indah dalam pandangan manusia. Sebagaimana disebutkan Allah dalam Q.S. Ali Imron ayat 14. Adapun bagi orang Islam, tentang perasaan cinta ini Allah swt. menghendaki agar kita menempatkannya sesuai dengan urutan yang benar.
Bagaimana urutan cinta yang benar itu, Ustadzah?
Kembali pada makna dua kalimat syahadat yang menjadi intisari keimanan, maka tidak ada yang dicintai melebihi Allah dan menjadikan Rasulullah sebagai uswatun hasanah dalam mempraktikkan kecintaan itu. Sehingga jika diurutkan, maka cinta yang pertama dan utama adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad. Selanjutnya ibu, ibu, ibu, lalu ayah. Barulah setelah itu menyusul rasa cinta untuk yang lain, keluarga dan manusia yang lain. “.. Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya… “ (Q.S. At-Taubah: 24). Dan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab, Rasulullah bersabda: …”Tidak beriman seseorang sehingga dia mencintai Allah, Rasul-Nya, dan jihad melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.”
Karena itu tidak tepat jika terjadi konflik pra-nikah, kita memenangkan calon pasangan daripada orang tua. Bagaimanapun orang tua itu sudah terbukti 'baik', dengan mengasuh kita sampai dewasa. Utamakan keridhaan orang tua sebelum pasangan atau anak kandung sendiri. Jika ini dipahami dan dilaksanakan insya Allah konflik antara mertua dan menantu akan minim sekali.
Soal berpacaran, jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Kemudian ada konsep taaruf yang bagi banyak orang dirasa belum cukup untuk mengenali calon pasangan. Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana pasangan itu nantinya jika sebelumnya tidak ada rasa cinta?
Tujuan orang pacaran itu katanya untuk saling mengenal lebih jauh. Sama saja dengan taaruf, saling mengenal, bedanya dalam ta'aruf masing-masing tidak punya rasa saling memiliki. Meskipun tidak jadi menikah tidak rugi apa-apa, tidak merasa kecewa atau sayang ketika harus berpisah. Karena memang belum sah jadi miliknya. Cinta itu ditumbuhkan setelah menikah dengan pasangan masing-masing. Sama saja seperti orang yang baru diterima bekerja, dia baru merasa senang, nyaman, dan mencintai pekerjaan itu setelah sekian waktu menjalaninya. Dan sakinah, mawaddah, wa rohmah (Q.S. Ar-Ruum: 21) itu dihadiahkan Allah swt. kepada pasangan yang telah diikat dalam pernikahan.
Cinta seperti apakah yang menjadi penguat dalam keluarga?
Cinta karena Allah dan Rasul-Nya, bukan semata-mata karena nafsu. Itu yang saya terapkan di dalam keluarga. Saat memilih pasangan saya cocokkan visi hidup kami, yaitu untuk dakwah menegakkan kalimatullah. Maka bagi keluarga muslim sudah sepantasnya menjadikan keimanan dan kecintaan kepada Allah sebagai pondasi keluarganya. Karena Allah saya mencintai suami dan anak-anak saya, demikian juga dengan mereka. Saling menjaga komitmen dan menjalankan tanggung jawab masing-masing.
Lantas bagaimana caranya bagi keluarga muslim agar selamat dunia akhirat?
Orang yang beriman itu disebutkan di dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 165, “..Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah…”. Melebihi apapun di dunia ini. Nah, di antara manusia ada yang lalai, sehingga harta dan anak itu menjadi fitnah baginya di dunia ini (Q.S.Al-Anfal:28). Karena terlalu memanjakan anak atau kepincut dengan harta benda yang melimpah akhirnya lupa diri dan melalaikan dirinya dari Allah swt. Hal itu harus dihindari.
Perlakukan keluarga dengan 'penuh perasaan', bahwa mereka itu istimewa dan tidak terganti oleh orang lain. Lalu membangun komunikasi yang baik antara anggota keluarga satu sama lain, termasuk dengan keluarga besar dan khadimat (pembantu). Berikan kepercayaan penuh kepada anggota keluarga, bahwa kita akan saling mengingatkan jika keliru. Insya Allah dengan begitu tidak ada yang perlu disembunyikan jika semua saling memahami dan percaya. Dan faktor eksternal yakni ujian hidup dapat menjadi penguat cinta kasih dalam keluarga, kebersamaan pada saat terpuruk akan terasa manis dan menguatkan cinta yang sudah ada. (If)
Cinta adalah sesuatu yang universal, bagaimana seorang muslim semestinya memandang soal cinta?
Cinta itu alami, thobi'i istilahnya. Sangat umum dan wajar dimiliki oleh setiap orang karena dengan rasa cinta inilah dunia menjadi indah dalam pandangan manusia. Sebagaimana disebutkan Allah dalam Q.S. Ali Imron ayat 14. Adapun bagi orang Islam, tentang perasaan cinta ini Allah swt. menghendaki agar kita menempatkannya sesuai dengan urutan yang benar.
Bagaimana urutan cinta yang benar itu, Ustadzah?
Kembali pada makna dua kalimat syahadat yang menjadi intisari keimanan, maka tidak ada yang dicintai melebihi Allah dan menjadikan Rasulullah sebagai uswatun hasanah dalam mempraktikkan kecintaan itu. Sehingga jika diurutkan, maka cinta yang pertama dan utama adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad. Selanjutnya ibu, ibu, ibu, lalu ayah. Barulah setelah itu menyusul rasa cinta untuk yang lain, keluarga dan manusia yang lain. “.. Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya… “ (Q.S. At-Taubah: 24). Dan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab, Rasulullah bersabda: …”Tidak beriman seseorang sehingga dia mencintai Allah, Rasul-Nya, dan jihad melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.”
Karena itu tidak tepat jika terjadi konflik pra-nikah, kita memenangkan calon pasangan daripada orang tua. Bagaimanapun orang tua itu sudah terbukti 'baik', dengan mengasuh kita sampai dewasa. Utamakan keridhaan orang tua sebelum pasangan atau anak kandung sendiri. Jika ini dipahami dan dilaksanakan insya Allah konflik antara mertua dan menantu akan minim sekali.
Soal berpacaran, jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Kemudian ada konsep taaruf yang bagi banyak orang dirasa belum cukup untuk mengenali calon pasangan. Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana pasangan itu nantinya jika sebelumnya tidak ada rasa cinta?
Tujuan orang pacaran itu katanya untuk saling mengenal lebih jauh. Sama saja dengan taaruf, saling mengenal, bedanya dalam ta'aruf masing-masing tidak punya rasa saling memiliki. Meskipun tidak jadi menikah tidak rugi apa-apa, tidak merasa kecewa atau sayang ketika harus berpisah. Karena memang belum sah jadi miliknya. Cinta itu ditumbuhkan setelah menikah dengan pasangan masing-masing. Sama saja seperti orang yang baru diterima bekerja, dia baru merasa senang, nyaman, dan mencintai pekerjaan itu setelah sekian waktu menjalaninya. Dan sakinah, mawaddah, wa rohmah (Q.S. Ar-Ruum: 21) itu dihadiahkan Allah swt. kepada pasangan yang telah diikat dalam pernikahan.
Cinta seperti apakah yang menjadi penguat dalam keluarga?
Cinta karena Allah dan Rasul-Nya, bukan semata-mata karena nafsu. Itu yang saya terapkan di dalam keluarga. Saat memilih pasangan saya cocokkan visi hidup kami, yaitu untuk dakwah menegakkan kalimatullah. Maka bagi keluarga muslim sudah sepantasnya menjadikan keimanan dan kecintaan kepada Allah sebagai pondasi keluarganya. Karena Allah saya mencintai suami dan anak-anak saya, demikian juga dengan mereka. Saling menjaga komitmen dan menjalankan tanggung jawab masing-masing.
Lantas bagaimana caranya bagi keluarga muslim agar selamat dunia akhirat?
Orang yang beriman itu disebutkan di dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 165, “..Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah…”. Melebihi apapun di dunia ini. Nah, di antara manusia ada yang lalai, sehingga harta dan anak itu menjadi fitnah baginya di dunia ini (Q.S.Al-Anfal:28). Karena terlalu memanjakan anak atau kepincut dengan harta benda yang melimpah akhirnya lupa diri dan melalaikan dirinya dari Allah swt. Hal itu harus dihindari.
Perlakukan keluarga dengan 'penuh perasaan', bahwa mereka itu istimewa dan tidak terganti oleh orang lain. Lalu membangun komunikasi yang baik antara anggota keluarga satu sama lain, termasuk dengan keluarga besar dan khadimat (pembantu). Berikan kepercayaan penuh kepada anggota keluarga, bahwa kita akan saling mengingatkan jika keliru. Insya Allah dengan begitu tidak ada yang perlu disembunyikan jika semua saling memahami dan percaya. Dan faktor eksternal yakni ujian hidup dapat menjadi penguat cinta kasih dalam keluarga, kebersamaan pada saat terpuruk akan terasa manis dan menguatkan cinta yang sudah ada. (If)
No Comment to " Cintailah Allah, Rasul-Nya, dan Jihad "